Seorang anak kecil sedang asyik menggambar tentang binatang yang pernah dilihatnya di Taman Safari. Tidak beberapa lama sebuah gambar tercipta. Sebuah gambar yang bercitra anak-anak polos dan lugas tanpa terikat oleh pola kewajaran serta logika. Bebas begitu kira-kira kata-kata yang tepat. Bebas bukan berperilaku semaunya tetapi bebas dari bayangan nilai maupun pola yang telah biasa diterapkan secara umum dan menjadi baku dalam bentuk patokan-patokan standart. Dari kebebasan seperti inilah sebuah jiwa menjadi kreatif. Dari kebebasan semacam inilah kita memahami lukisan anak. Jadi kita tidak menilai dengan ukuran yang kita punyai, tidak menilai dengan kacamata kita, melainkan dengan kaca mata batin anak. Begitu uraian Rudy Isbandi dalam bukunya seni lukis anak.
Pada sisi yang lain seringkali kreativitas yang ditampilkan orang tua menjadi boomerang ketika seorang anak menjadi obyek saja. Wees Ipnu Savy atau kak Wees, pendongeng pernah berujar, “aktifitas yang niatnya mulia, yaitu memancing kreatifitas anak, seringkali diterjemahkan sebagai sebuah paksaan. Tanpa sadar kreatifitas yang diharapkan bisa muncul malah terbalik. Anak tak ubahnya robot kecil yang dikendalikan orang tua. Aktivitas yang dilakukannya atas selera orang tua. Sementara si anak tidak bisa menikmati aktifitasnya.
Membangun kreatifitas hendaknya disikapi sesuai dengan porsinya. Mengedepankan nilai yang benar-benar atas nama kreatifitas belaka. Bukan malah membenamkan nilai kreatifitas itu sendiri. Menciptakan anak kreatif mungkin itulah keinginan semua orang tua, tetapi kita harus sadar segala sesuatu dengan kewajaran akan menghasilkan kebahagiaan tiada tara bagi si anak .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar